Sabtu, 12 Mei 2012

Tahajud Sehat Ala Dokter Shaleh

Nyaris dalam hidupnya, Nabi Muhammad SAW tak pernah ‘berteman’ dengan penyakit-penyakit mematikan yang pernah dikenal manusia seperti jantung, stroke, dan sebagainya. Padahal boleh dibilang ia sangat jarang istirahat. Paling penyakit-penyakit ’sepele’ dan musiman seperti sakit kepala dan demam.
Untuk mengurus umat yang bertebaran banyaknya dan kerap masih saja banyak gangguan oleh kabilah-kabilah yang tak mau akur satu sama lainnya, tidurnya hanyalah beberapa saat saja. Siang jelang salat duhur, ia akan tidur satu jam. Dan malamnya Muhammad akan tidur jam 9 (setelah salat isya, berwasila, dan bercengkerama dengan keluarga) dan bangun jam 2 dini hari untuk mendirikan tahajud hingga subuh. Lalu ia tidur sejenak sampai matahari benar-benar terbit.
Rupanya, fenomena kuatnya fisik Nabi Muhammad ini (bukan hanya berperang di padang pasir, tapi juga bergumul dengan istri-istrinya di atas ranjang) ini yang merangsang dr Sholeh untuk meneliti. Nah, kajian buku ini berusaha menyingkap pola hidup sehat dan kuat ala padang pasir yang dipraktikkan Sang Nabi.
Dokter Sholeh ini memiliki riwayat pendidikan yang tak linier dan fokus. Ia memulai debut pendidikan tingginya dari Fakultas Tarbiyah Universitas IslamTribakti Kediri dan Universitas Muhammadiyah Malang. Lalu magisternya diselesaikan di Fakultas Psikologi IKIP Malang. Adapun program doktoralnya ia ampuh di Fakultas Kedokteran Jurusan Psikoneuromunologi Universitat Airlangga Surabaya.
Sekilas riwayat pendidikan itu tak berhubungan. Nanti relasi itu terlihat berkait erat setelah membaca buku ini. Buku yang menggugah—dan memang berimplikasi pragmatis ini—menautkan tiga disiplin ilmu sekaligus: agama (salat tahajud), psikologi (konstantasi jiwa sewaktu melakukan salat atau buku ini mengistilahkannya ‘niat ikhlas’), dan kedokteran (ketahanan tubuh akibat pengaturan darah yang efektif dan berkelanjutan).
Ketiga ilmu itu kemudian bertemu dalam sebuah laku spiritual yang setiap Muslim pasti tahu dan barangkali pernah melakukannya, walau tak intensif: TAHAJUD. Dari penelitiannya yang dilakukan kepada 19 santri yang sudah terpilih di Pesantren Hidayatullah Surabaya, dr Sholeh mendapatkan bahwa salat tahajud sangat efektif membangun benteng imunologi dan homoeostatis. Namun salat tahajud seperti apa yang bisa demikian itu?
Salat tahajud yang dilandasi—dalam sebuah perkataan Sang Nabi—dengan niat yang ikhlas serta pasrah. Itu bukan retorika agama belaka, melainkan memiliki dampak yang praktis di antara para pengamal tahajud.
Keikhlasan dan ketenangan dalam mendirikan salat berkait erat dengan irama sirkadian yang merupakan elemen penting dalam fisiologis tubuh. Komponen-komponen yang terkait langsung dengan sirkadian adalah pola tidur-bangun, kesiapan bekerja, pengaturan autonomik (sekresi adrenalin, kortisol), proses vegetasi (metabolisme) temperatur tubuh, denyut jantung, dan tekanan darah. Jam kerja biologis irama sirkadian ini secara endogen berjalan 24 jam sehari. Dan akan meningkat pada siang hari (free ergotrofic) dan menurun pada malam hari (fase tropotrofic)
Jika irama ini tak terkelola, biasanya gejala yang muncul adalah gangguan tidur, nyeri perut, nyeri ulu hati, tidak ada nafsu makan, badan terasa lemah, merasa sangat lelah, gangguan saluran pernapasan. Gejala itu biasanya dialami para pekerja shift malam. Gejala serupa juga dirasakan beberapa pengamal salat tahajud.
Hal itu terjadi dikarenakan para pengamal tahajud tak berhasil beradabtasi dengan perubahan irama sirkadian. Gangguan adaptasi ini ditunjukkan dari gambaran kortisol yang seharusnya menurun pada malam hari, namun karena malam hari melakukan aktivitas tahajud, maka hormon kortisol tetap tinggi. Ketakstabilan homeostatis itu kemudian memicu stres diakibatkan meningkatnya ACTH.
Sudah dari sono-nya irama biologis dari ACTH dan kortisol berkolerasi dengan suasana terang dan gelap. Pada malam hari di mana kondisi gelap, maka terjadi penurunan ACTH dan kortisol. Biasanya kadar terendahnya antara jam 00.00-02.00. Dan pada jam-jam itu juga tahajud dianjurkan.
Dalam konteks kerja-kerja adabtasi, dr Sholeh mengatakan bahwa dalam sistem tubuh manusia dikaruniai kerja-kerja prevensi. Upaya itu di antaranya melalui coping mechanism. Proses terjadinya coping ini dapat dilihat dari upaya penyesuaian diri dan proses belajar dan mengingat. Dalam proses penyesuaian diri ini akan timbul suatu bentuk habituasi atau sensitasi.
Bila pengamal salat tahajud itu bisa beradabtasi dan memiliki coping yang efektif, maka perubahan irama sirkadian diterima sebagai simulator untuk berprestasi. Sebaliknya jika gagal beradabtasi dan coping tak efektif, perubahan irama sirkadian akan diterima sebagai tekanan yang rentan terhadap infeksi dan kanker.
Nah, salat tahajud yang dijalankan dengan penuh kesungguhan, khusuk, tepat, ikhlas, dan berkelanjutan, diduga dapat menumbuhkan persepsi dan motivasi positif serta mengefektifkan coping. Gejala yang bisa dilihat adalah bahwa pengamal salat tahajud itu akan menghadapi hidup secara realistis dan optimis serta tetap bersikap konstruktif. Sebaliknya, ketakikhlasan hanya akan menimbulkan kekecewaan, kecemasan, presepsi negatif, dan rasa tertekan.
Ketenangan atau racauan atau negatif atau positifnya persepsi bisa diukur dari besaran kortisol darah yang bekerja. Jika kortisol darahnya tetap rendah dan stabil, maka dipastikan bahwa kekhusukan salat tahajud tercapai. Begitu pula sebaliknya. Jadi, tolak ukur dari niat ikhlas itu adalah bilangan kortisol.
Dan makna ikhlas itu sudah tersirat abadi dari sebuah pasase kitab suci: “Salatku, ibadahku, hidupku dan matiku,hanya diperuntukkan kepada Allah SWT” (Qs 6:162)
Mau hidup sehat dan kuat ala Sang Nabi, dirikanlah tahajud. Tapi syaratnya ya itu tadi, ikhlas, khusyuk, dan berkelanjutan.

0 komentar:

Posting Komentar